Minggu, 25 Desember 2011

KEBIJAKAN REMUNERASI BERBASIS KINERJA


Remunerasi adalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari Kebijakan Reformasi Birokrasi. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran sekaligus komitmen pemerintah untuk mewujudkan “clean and good governance”.
Pada kenyataan pelaksanaannya, perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin akan dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjadi pengggerak roda pemerintahan. Reformasi Birokrasi harus dilakukan untuk menghapus memperbaiki citra Pemerintahan yang selama ini telah terpuruk di mata masyarakat, beberapa indator yang dapat dilihat selama ini diantaranya:
a.       Buruknya kualitas pelayanan publik (lambat, tidak ada kepastian aturan/hukum, berbelit belit, arogan, minta dilayani atau feodal style dan sebagainya).
b.      Sarat dengan perilaku KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme)
c.       Rendahnya kualitas disiplin dan etos kerja pegawai negeri.
d.      Kuaiitas.manajemen pemerintahan yang tidak produktif, tidak efektif dan tidak efisien.
e.       Kualitas pelayanan publik yang tidak akuntabel dan tidak transparan.

Pemberian remunerasi hanya berdasarkan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan saja ternyata juga tidak serta merta dapat mengeleminir permasalahan-permasalahan yang ada, sehingga diperlukan manajemen strategi dalam pemberian remunerasi, salah satunya dengan cara “remunerasi berbasis kinerja”.
Remunerasi bermakna sangat strategis terhadap suksesnya Reformasi Birokrasi, mengingat dampak paling signifikan terhadap kinerja lembaga akan sangat ditentukan oleh perubahan kultur PNS di dalam melaksanakan tugas pokoknya. Sedangkan keberhasilan merubah kultur akan tersebut akan sangat ditentukan oleh tingkat kesejahteraan anggotanya.
Prinsip dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan proporsional. Artinya kalau kebijakan masa laiu menerapkan pola sama rata (generalisir), sehingga dikenal adanya istilan PGPS (pinter goblok penghasilan sama). Maka dengan kebijakan Remunerasi, besar penghasilan (reward) yang diterima oleh seorang pejabat akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga jabatan yang disandangnya serta kinerja yang dihasilkan.
Pertama harus disadari bahwa sejalan dengan perkembangan demokrasi dan kesadaran hukum masyarakat yang semakin matang, maka tuntutan masyarakat untuk dilayani, dilindungi dan disejahterakan oleh Pemerintah sebagai representasi negara juga semakin meningkat. Termasuk tekanan dan tuntutannya terhadap perobahan kinerja PNS. Oleh sebab itu pemerintah harus segera menyesuaikan diri dengan tuntutan perobahan tersebut. Oleh karena jika tidak responsif dan tidak adaptif dengan perobahan tersebut pemerintah akan kehilangan legitimasinya dimata masyarakat.
 Oleh sebab itu Momentum Remunerasi harusnya dapat dijadikan sebagai media atau momentum dengan sebaik-baiknya oleh para birokrat dalam memotivasi bawahannya untuk dapat meningkatkan profesionalismenya. Kebijakan masa lalu sebelum Reformasi mungkin hanya dianggap hanya menuntut perobahan dan peningkatan kinerja tanpa ada imbalan apapun. Akan tetapi kali ini mereka sudah jelas akan diberi imbalan dengan peningkatan kesejahteraan baik berupa tunjangan kinerja dan atau kenaikan gaji.
Kasus Gayus Tambunan (GT) yang diketahui terlibat dalam mafia pajak sungguh menjadi tamparan keras bagi pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Tidak hanya Departemen Keuangan yang sangat dirugikan dengan kasus tersebut, tapi juga bagi PNS secara umum. Masyarakat Indonesia banyak mempertanyakan apakah manfaat remunerasi bagi PNS, jika perilaku masih saja koruptif. Kasus GT memperlihatkan secara vulgar bagaimana seorang PNS gol III A yang sudah diberikan remunerasi yang besar melakukan tindakan yang merugikan negara dengan jumlah yang luar biasa mencengangkan: 25 M (bandingkan dengan kekayaan SBY yang sekitar 7 M). Tindakan itu dilakukan dengan memanfaatkan posisinya di Ditjen Pajak yang memungkinkan dia berhubungan langsung dengan Wajib Pajak.
Parameter kegagalan remunerasi berkaca dari kasus Gayus Tambunan:
1.      Tidak adanya perubahan perilaku
2.      Gagalnya pemberantasan KKN
3.      Penguatan SDM aparatur yang tidak jalan
4.      Lemahnya sistem monitoring, evaluasi kinerja dan pengawasan.

Analisa menarik dikemukakan Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian, di Metro TV, bahwa salah satu kegagalan remunerasi adalah karena esklusifitas Departemen Keuangan. Dalam pelaksanaan remunerasi Depkeu dengan seenaknya menentukan tunjangan yang tinggi bagi departemennya sendiri. Rizal Ramli mengatakan bahwa “Depkeu telah memposisikan diri sebagai kasta tertinggi dibanding PNS lain, tetapi perilakunya tidak menunjukkan keteladanan”.  Dia mengusulkan juga perlu adanya test psikologi dalam perekrutan PNS agar dapat diketahui sifat, sikap seseorang apakah layak sebagai PNS.
Lalu apakah program reformasi birokrasi (remunerasi) di Indonesia gagal?. Menurut hemat saya reformasi birokrasi merupakan suatu keharusan bagi suatu pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi. Denny Indrayana  sebagai salah satu Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengungkapkan: ketika diperiksa oleh tim, GT  sendiri mengatakan bahwa sejak reformasi birokrasi dilaksanakan di Depkeu khususnya Ditjen Pajak, ruang gerak bagi praktek-praktek yang merugikan yang biasa dilakukan seperti dulu sudah semakin terbatas.
Pelaksanaan remunerasi saat ini hanya menitik beratkan pada  instansi rumpun pengelola keuangan Negara, rumpun pemeriksa dan pengawas keuangan Negara serta lembaga penertiban aparatur Negara. Selain dapat menimbulkan kecemburuan sosial pada rumpun kerja yang lainnya, remunerasi saat ini tidak berdasarkan pada kinerja yang dihasilkan, namun hanya berdasarkan pada beban kerja dan strategis atau tidaknya pekerjaan tersebut dalam aspek keuangan negara, sehingga menurut pemerintah jika korupsi ingin di hindari maka peningkatan gaji/upah merupakan solusinya.
Hasilnya kultur budaya kerja tidak berubah, hanya gaji/upah saja yang meningkat. Seharusnya kenaikan gaji harus dibarengi oleh peningkatan kinerja, dan itu baru dapat tercapai apabila faktor pendukung lainnya terpenuhi, diantaranya: adanya perubahan perilaku kerja yang lebih bersaing karena remunerasi berdasarkan produktifitas kerja dan kinerja, penguatan SDM aparatur yang dimulai dari rekrutmen sampai dengan penempatan dan pemberhentian, penguatan sistem monitoring, evaluasi kinerja dan pengawasan serta membangun komitmen pimpinan dan bawahan.
Remunerasi yang diterapkan saat ini menurut saya masih jauh dari harapan, namun apabila diterapkan dengan menganut prinsip-prinsip peningkatan kinerja serta tidak melupakan tingkat kesejahteraan pegawai tentunya dapat berhasil guna. Akan tetapi remunerasi tidak hanya diberlakukan instansi keuangan semata, namun juga di instansi-instansi lain yang disesuaikan dengan beban/bobot kerja dan resiko kerja yang di emban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar