Rabu, 18 Agustus 2010

Critical Theory Neo-Malthusian dan Boserupian

1. Teori Neo – Malthusian
Thomas Robert Malthus menerbitkan sebuah buku walau tipis namun sangat berpengaruh. Judulnya An Essay on the Principle of Population as it Affects the Future Improvement of Society.
Pokok tesis Malthus ini adalah pemikiran bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampui pertumbuhan persediaan makanan. Malthus menyuguhkan idenya dalam bentuk yang cukup kaku. Dia mengatakan, penduduk cenderung tumbuh secara “deret ukur” (misalnya, dalam lambang 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya) sedangkan persediaan makanan cenderung bertumbuh secara “deret hitung” (misalnya, dalam deret 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan seterusnya). Dalam terbitan-terbitan belakangan, Malthus menekankan lagi tesisnya, tetapi tidak sekaku semula, dengan hanya berkata bahwa penduduk cenderung bertumbuh secara tak terbatas hingga mencapai batas persediaan makanan. Dari kedua bentuk uraian tesis itu, Malthus berkesimpulan bahwa kuantitas manusia akan kejeblos ke dalam rawa-rawa kemiskinan dan berada ditubir kelaparan. Dalam jangka panjang, tak ada kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan keadaan itu, karena kenaikan suplai makanan terbatas, sedangkan “pertumbuhan penduduk tak terbatas, dan bumi tak mampu memproduksi makanan buat menjaga eksistensi manusia.”
Malthus merupakan orang pertama yang secara sistematis menggambarkan hubungan antara penyebab dan akibat-akibat pertumbuhan penduduk. Hal ini yang menyebabkan teorinya sangat terkenal, yaitu ”MODEL DASAR TEORI JEBAKAN KEPENDUDUKAN. Dalam model dasarnya, Malthus menggambarkan suatu konsep tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (”DIMISHING RETURNS”). Malthus menyatakan bahwa umumnya penduduk suatu negara mempunyai kecenderungan untuk bertambah menurut suatu deret ukur yang akan berlipat ganda tiap 30-40 tahun, kecuali bila terjadi bahaya kelaparan. Pada saat yang sama, karena adanya ketentuan pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang jumlahnya tetap (tanah dan sumberdaya alam) maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung. Dalam kenyataannya, karena setiap anggota masyarakat hanya memiliki tanah yang sedikit, maka kontribusi marginal atau produksi pangan akan semakin menurun. Oleh karena pertumbuhan pangan tidak dapat berpacu dengan pesatnya pertambahan penduduk, maka pendapatan perkapita (dalam masyarakat agraris, pendapatan perkapita diartikan sebagai produksi pangan perkapita) akan mempunyai tendensi turun sedemikian rendahnya sehingga mencapai sedikit di atas tingkat subsisten (KEMISKINAN “ABSOLUT”).
Para ahli ekonomi modern memberikan istilah bagi gagasan Malthus mengenai penduduk yang terpaksa hidup pada tingkat pendapatan subsisten ini dengan istilah “JEBAKAN KEPENDUDUKAN DENGAN TINGKAT EKUILIBRIUM YANG RENDAH” (“LOW LEVEL EQUILIBRIUM POPULATION TRAP”) atau singkatnya “jebakan kependudukan Malthus” (“MALTHUSIAN POPULATION TRAP”).
Tetapi, tak bisakah pertumbuhan penduduk dibendung dengan cara ini atau cara itu? Sebenarnya bisa. Perang, wabah penyakit atau lain-lain malapetaka sering mampu mengurangi penduduk. Tetapi, penderitaan macam ini hanya menyuguhkan keredaan sementara sedangkan ancaman kebanyakan penduduk masih tetap mengambang di atas kepala dengan ongkos yang tidak menyenangkan. Malthus berusul, cara lebih baik untuk mencegah kebanyakan penduduk adalah “pengendalian moral.” Tampaknya, yang dia maksud dengan istilah itu suatu gabungan dari kawin lambat, menjauhi hubungan seks sebelum nikah, menahan diri secara sukarela frekuensi sanggama. Tetapi, Malthus cukup realistis dan sadar bahwa umumnya orang tidak ambil peduli dengan pengendalian-pengendalian macam begitu. Dia selanjutnya berkesimpulan bahwa cara yang lebih praktis adalah tetap berpegang pada apa adanya: kebanyakan penduduk sesuatu yang tak bisa dihindari lagi dan kemiskinan merupakan nasib yang daripadanya orang tidak mungkin bisa lolos. Sungguh suatu kesimpulan yang pesimistis!
Pada prinsipnya teori Malthus mengigatkan bahwa pertumbuhan penduduk apabila tidak dikontrol akan menghilangkan hasil-hasil yang diperoleh dari pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mengakibatkan gagalnya pembangunan.
Kritik teori Malthus:
1. Malthus tidak memperkirakan kemajuan bidang transportasi yang menghubungkan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya sehingga pengiriman bahan makanan ke daerah yang kekurangan pangan mudah dilaksanakan.
2. Dia tidak memperhitungkan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama dalam bidang pertanian.
3. Malthus tidak usaha pembatasan kelahiran bagi pasangan yang sudah menikah, artinya pengontrolan kelahiran baginya tidak bermoral.
4. Fertilitas (kelahiran) akan menurun apabila terjadi perbaikan ekonomi dan standar hidup penduduk dinaikkan.


2. Teori Boserupian
Teori ini dikemukakn Ester Boserup dan para pengikutnya (Neo-Boserupian). Faham Boserup gaya baru lebih menekankan pada pengaruh tekanan penduduk ini terhadap masyarakat. Menurutnya, tekanan penduduk justru dapat mempercepat inovasi teknologi, dan masyarakat cenderung berusaha mencari teknologi baru atau mengadaptasi teknologi yang ada pada lingkungan baru. Degradasi lahan dapat terjadi karena masyarakat cenderung mengeksploitasi lahan-lahan pertanian yang ada dan mengakibatkan penambangan lahan. Perubahan teknologi atau intensifikasi penggunaan lahan bahkan dapat menggantikan pepohonan dan vegetasi yang berakar dalam dengan tanaman bahan makanan yang berakal dangkal, yang gampang sekali tererosi. Sementara itu, laju pembentukan kembali tanah dan lapisan permukaan yang telah tererosi sangat lambat sehingga degradasi lahan, terutama di daerah- daerah tropis, nyaris tidak dapat tergantikan kembali secara cepat.
Teori Boserupian sama berfokus pada hubungan antara tiga faktor: penduduk, lingkungan, dan teknologi. Konsep 'penduduknya,' berbeda dengan Malthus, meliputi kepadatan penduduk serta ukuran mutlak dan pertumbuhan. Seperti Malthus, konsep lingkungan terutama mengacu pada sumber daya lahan dan faktor-faktor terkait seperti iklim dan kualitas tanah. Karena fokusnya adalah sejarah baik civilzations atau negara-negara berkembang, 'teknologi' menurut Boserup, seperti halnya dengan Malthus, terutama mengacu pada alat-alat dan input yang digunakan dalam pertanian, kegiatan produktif utama di masyarakat.
Menurutnya terdapat hubungan yang sangat erat antara penduduk, lingkungan dan teknologi. Hal ini umumnya disepakati bahwa perubahan teknologi memiliki pengaruh penting pada ukuran populasi.
Boserup, menulis di tengah-tengah pertumbuhan penduduk yang cepat dan teknologi
perubahan yang telah banyak ditandai pada abad ke-20, perubahan pertambahan populasi meluas dalam organisasi tenaga kerja, untuk peningkatan populasi yang menyebabkan perubahan teknologi yang dapat juga memperluas produktivitas sumber daya. Boserup menegaskan bahwa Malthus mengabaikan mekanisme penting untuk meningkatkan produksi, yaitu intensifikasi pertanian, atau "perubahan bertahap terhadap pola penggunaan tanah yang memungkinkan untuk tanaman daerah tertentu tanah lebih sering digunakan daripada sebelumnya.
Pada pertengahan abad ke-18 siklus kelaparan mereda. Penduduk Eropa mulai tumbuh dan kepadatan penduduk meningkat sehingga metode pertanian diadopsi lebih intensif. Untuk meningkatkan Boserup ini pada pertengahan abad ke-18 Eropa melaju baik dari segi pertanian dan revolusi industri. Pertumbuhan penduduk pertanian di Eropa mengakibatkan surplus makanan diperlukan untuk mendukung pertumbuhan daerah. Selain itu, pertumbuhan penduduk di perkotaan dan pedesaan memberikan kesempatan untuk mengangkat skala dalam bidang ekonomi atau penciptaan infrastruktur seperti jalan. transfer input pertanian, merangsang intensifikasi pertanian lebih lanjut, maka akan terjadi surplus makanan yang lebih besar dan akhirnya industrialisasi melebihi urbanisasi.

Kritik Teori Boserupian:
1. Untuk negera-negara dunia ketiga seperti halnya Indonesia, teori Boserupian hanya akan mendorong pada keadaan yang lebih rumit, hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk yang cepat tidak dibarengi dengan peningkatan produktifitas sumber daya yang akhirnya berujung pada peningkatan teknologi. Akhirnya limpahan penduduk hanya dapat menjadi objek pasar dari negara-negara maju untuk memasarkan produknya.
2. Pemakaian lahan pertanian yang lebih sering daripada keadaan sebelumnya dengan maksud mengejar surplus makanan dan pemenuhan kebutuhan publik yang terus meningkat mendorong pengrusakan lahan lebih cepat karena tidak ada masa jeda yang memadai karena mengejar target panen. Recovery lahanpun dilakukan dengan memakai pupuk non organik seperti halnya di Indonesia, walaupun pupuk organik mulai diperkenalkan, namun petani masih lebih memilih pupuk non organik karena dianggap lebih praktis dalam membasmi hama dan menyuburkan tanaman. Akhirnya banyak hasil panen yang baik namun tidak bebas racun yang akan mengganggu tingkat kesehatan yang ujung-ujungnya mempengaruhi tingkat kualitas SM itu sendiri.
3. Teori Boserupian akan berjalan sangat lamban.

Minggu, 15 Agustus 2010

Demokrasi Indonesia

Demokrasi adalah keinginan rakyat. Bahkan ada yang bilang lebih dari itu, yaitu "Vox Populi Vox Dei" atau"kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan".

Bahwa kita masih bingung karena rakyatnya sendiri bingung dan elitnya menjadi bingung, karena kita semua harus ikut pikiran rakyat, tidak peduli rakyat sedang bingung atau tidak. Elite hanya membuat kompilasi dan mensistematisasi apa yang dikehendaki oleh rakyat, yang keinginannya disamakan dengan keinginan Tuhan. Jadi mungkin rakyat Indonesia ditakdirkan untuk bingung dalam zaman reformasi ini, yang oleh banyak orangdisebut zaman edan. Mungkin juga rakyat Indonesia yang sedang edan. (Kwik KianGie dalam Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar, 2006).

Gambaran wajah pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pasca runtuhnya orde baru beralih pada orde reformasi menjadi euforia yang tidak terkendali dalam sebuah bingkai yang mengatasnamakan untuk kepentingan masyarakat atau kesejahteraan masyarakat. Mungkin pada hakikatnya cita-cita awal sangat luhur dan sempurna untuk diwujudkan, namun terkikis oleh carut marut keadaan yang mungkin memang sudah kacau.

Sering kita membaca atau mungkin berada langsung di tengah-tengah keadaan yang terkadang membuat kita bingung dan bertanya, apa yang sebenarnya masyarakat mau? Bukan apa yang sebenarnya masyarakat butuhkan?

Kedua pertanyaan tadi menjadi hal yang sering di perdebatkan dalam keadaan sadar maupun tidak sadar oleh para elit politik maupun masyarakat itu sendiri.

Disadari atau tidak pelaksanaan demokrasi di Indonesia mungkin memang yang paling demokratis melebihi negara pengagasnya itu sendiri "Amerika". Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa demokrasi adalah sesuatu yang buruk untuk di praktikkan, akan tetapi harusnya kita dapat melihat bahwa ada celah yang ternganga lebar di depan mata yang harusnya dapat segera ditanggulangi jika tidak ingin negara ini menjadi hancur lebur dan tersesat dalam praktik demokrasi yang tak sehat.

Pertumbuhan Ekonomi Semu

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat dikatakan sebagai pertumbuhan ekonomi semu, yang hanya melihatnya dari indikator ekonomi makro. Seharusnya setiap pertumbuhan ekonomi di sebuah negara harus dapat berimplikasi positif terhadap berkurangnya jumlah pengangguran dan angka kemiskinan.

Lain halnya di Indonesia, perdebatan di tingkat elit hanya berkisar pada berapa persen pergerakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sangat naif jika kita melihat kondisi faktual yang terjadi bahwa berapapun peningkatan persentase pertumbuhan ekonomi tidak berdampak positif langsung terhadap masyarakat atau dalam bahasa wajarnya "omong kosong!".

Pemahaman berfikir ini dibarengi oleh pemikiran ilmiah oleh John Perkins dalam The Confessions of an Economic Hitman yang mengatakan "Faktor yang paling menentukan adalah pendapatan domestik bruto (PDB). Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB. Pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang saja yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani utang yang sangat berat buat rakyaknya. Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi".

Rasanya sudah bukan menjadi sesuatu yang mengejutkan untuk diketahui, hanya saja pemahaman akan keadaan ekonomi bangsa harus dapat dimengerti oleh segenap masyarakat, bahwa ada yang salah dari arah kebijakan investasi pemerintah yang terlalu menganak emaskan perusahaan-perusahaan besar daripada usaha kecil dan menengah (UKM) yang notabene selama 32 tahun telah menyerap 99,44% angkatan kerja (sumber data: Kwik Kian Gie, Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar).

Menjadi sesuatu yang tidak mengesankan lagi saat pemerintah mengumumkan peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia setiap tahunnya, karena yang meningkat tidak secara riil mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia itu sendiri, namun hanya segelintir kelompok yang mengeruk keuntungan dari kegersangan.